Suatu hari bambu di pinggir hutan protes keras sama seruling. Terutama karena merasa diperlakukan tidak adil oleh kehidupan. Seruling dihargai demikian tinggi, sementara bambu di pinggir hutan tidak ada yang memperhatikan. Dengan tersenyum lembut seruling menjawab pelan. Dulunya, demikian seruling memulai cerita, kami juga bambu seperti kalian semua. Dan sebelum jadi seruling, kaki kami dipotong dengan kapak, badan kami dihaluskan dengan pisau. Dan yang paling menyakitkan, dada kami dilubangi.
Cerita ini adalah cerita klasik sekaligus legendaris di dunia pertumbuhan jiwa. Ia sama klasiknya dengan cerita kepompong yang harus berjuang dengan rasa sakitnya agar bisa terbang indah menjadi kupu-kupu yang mewakili keindahan. Pesan intinya sederhana, agar jiwa bertumbuh dewasa, apa lagi pulang ke rumah pencerahan, is harus melewati banyak sekali tangga kesedihan.
Sedihnya, entah siapa yang memulainya, kesedihan sering ditempatkan sebagai hukuman, kesalahan dan bahkan dosa. Sebagai akibatnya, kebanyakan manusia lari menjauh dari kesedihan sehingga kehilangan kesempatan untuk bertumbuh menjadi dewasa, kehilangan peluang untuk menempuh jalan pulang ke rumah pencerahan. Itu sebabnya, ada yang memberi judul karyanya dengan judul indah: “Pain, the gift that no body want”. Rasa sakit adalah berkah yang dikira musibah.
Siapa saja yang tekun dan tulus mendekap rasa sakit mengerti, awalnya semua membenci kesedihan dan kepedihan. Begitu kesedihan didekap dengan lembut, seseorang belajar tersenyum pada tiap dualitas. Tersenyum baik pada kesedihan dan kesenangan, berpelukan baik pada duka cita maupun suka cita. Dan sebagaimana cahaya listrik yang memancar terang karena memadukan negatif-positif, jiwa yang sudah mendekap lembut kesedihan juga memancarkan cahaya terang.
Salah satu sahabat spiritual yang jiwanya sudah memancar terang pernah “bercakap-cakap” dengan bambu. Bambu, demikian ia mengawali hasil percakapannya, bisa kuat dan kokoh karena berakar kuat ke dalam. Demikian juga dengan jiwa manusia, bila mau kuat dan kokoh, belajar berakar kuat ke dalam, ke dalam persahabatan, rasa syukur dan terima kasih mendalam pada kehidupan.
Sebagai hasil dari akar yang kuat, bambu bertumbuh meyakinkan menuju cahaya. Begitu ia dekat dengan cahaya, secara alamiah bambu merunduk rendah hati. Danpuncak perjalanan bambu indah sekali, tatkala ia dibelah di dalamnya kosong. Serangkaian simbol-simbol yang dekat sekali dengan pengalaman pencerahan.
Ia dimulai dengan tekad kuat untuk bergantung pada akar-akar kokoh di dalam seperti rasa syukur dan terimakasih pada kehidupan. Keikhlasan kemudian membimbingnya menuju cahaya. Dan ciri jiwa yang sudah dekat dengan cahaya, ia merunduk rendah hati. Kenapa bisa merunduk rendah hati, terutama karena sudah mengalami secara langsung (bukan mengerti secara intelek), semuanya ternyata kosong.
Kata kosong kerap disalah artikan sebagai tidak ada apa-apa. Sederhananya, kosong dari keakuan, kesombongan, kecongkakan. Tatkala seseorang kosong dari keakuan, ia langsung berpisah dengan tubuh personal yang membuat jiwa menderita, sekaligus tergabung dengan tubuh kosmik yang indah menawan.
Di tingkatan tubuh kosmik, seseorang mengalami langsung, ternyata kita semua terhubung. Meminjam ungkapan sebuah buku suci: “Anda adalah saya, saya adalah Anda”. Dalam keterhubungan seperti inilah kemudian mekar bunga-bunga cinta. Sebagai akibatnya, seluruh pertempuran ke dalam maupun ke luar berhenti.
Tatkala semua pertempuran ke dalam maupun ke luar berhenti, hidup kemudian berubah total menjadi puisi kedamaian. Ia memang kosong dan tidak menyisakan apa-apa. Sebagaimana ruang kosong yang memberikan tempat pada apa saja dan siapa saja untuk bertumbuh, kekosongan jenis ini menjadi simbol dari cinta dan belas kasih yang sempurna. Inilah kesimpulan cerita tentang bambu kedamaian.
Penulis: Gede Prama
sumber : Gedepramadotblogdetikdotcom