Kemenangan Jokowi-Basuki atas Fauzi Bowo–Nahrowi Ramli memberikan pelajaran penting bagi kaum marketer. Baik bagi kaum marketer yang sedang menjalankan bisnis produk dan jasa maupun kaum marketer bidang politik….
Pertanyaan besarnya adalah apa sih penyebab kekalahan Foke dari Jokowi? Foke yang lulusan Perguruan tinggi Jerman, lahir dan besar di Jakarta, Incumben, memiliki pengalaman birokrasi yang sangat panjang, memiliki skill dan kompetensi yang cukup dan bahkan memproklamirkan diri sebagai “Ahli”nya Jakarta dikalahkan oleh Jokowi yang dari luar Jakarta, lulusan perguruan tinggi dalam negeri, pedagang mebel, dan mengaku won g cilik dan wong ndeso.
Sudah banyak yang memberikan analisis dari aspek politik, namun dari aspek marketing masih sangat sedikit. Koran Sindo edisi 23 September 2012, Yuswohadi pengamat bisnis dari Markplus menguraikan dari aspek strategy marketing.
Menurut Yuswohadi, dunia marketing saat ini telah berubah sangat drastis. Marketer cukup mengerjakan 10% saja, lalu sisanya 90% dikerjakan oleh konsumen. Teory ini dikenal dengan “marketing 10:90”. Marketer cukup menciptakam produk unggul dan authentic brand story, lalu menaruhnya di Youtube atau memicu percakapan di Twitter/Facebook, that’s it. Lalu konsumen lah yang bekerja keras membesarkan dan menyebarkan gelembung viral dari authentic brand story tersebut ke konsumen lain di seantero tanah air.
Jokowi-Basuki dan team suksesnya menyadari atau tidak telah menjalankan marketing 10:90 ini. Mereka menciptakan produk yang unggul yakni Jokowi yang membangun dari kampanye city branding “Solo: The Spirit of Java”, relokasi pasar yang manusiawi, hingga dukungan terhadap mobil Esemka yang meroketkan namanya di kancah politik nasional.
Lau dibangun authentic brand story yakni Jokowi menjadi ikon pemimpin yang merakyat, hobi turun ke lapangan, mendengar keluh-kesah masyarakat, sosok pribadi yang sederhana dan apa adanya. Siapa yang “mengarang” seluruh cerita di seputar keikonan Jokowi? Yang membuat cerita tak lain adalah masyarakat (baca: konsumen) melalui cerita dari mulut ke mulut (Word of Mouth) secara natural dan otentik di kalangan tukang becak, obrolan di warung Tegal, hingga diskusi-diskusi di kampus . dari internet :facebook, twitter, blog, Website (word of Mouse).
Dengan modal prestasi masa lalu dan cerita otentik itu, viral keikonan Jokowi merambat cepat ke seluruh penjuru tanah air menjelang hari H pencoblosan. Di sinilah massa pemilih bekerja keras menyebarkan cerita-cerita keikonan Jokowi baik secara offline (dari mulut ke mulut) maupun secara online (melalui ranah internet). Media sosial seperti YouTube, blog, Facebook, Twitter, Youtube, hingga BBM menjadi tools ampuh yang memungkinkan massa pemilih demikian gampang menyebarkan cerita mengenai keikonan Jokowi.
Singkatnya, sebagian besar pemasaran Jokowi di Pilkada DKI bukanlah dilakukan Jokowi dan tim suksesnya, tapi dilakukan secara voluntir, natural, dan otentik oleh massa pemilihnya melalui penyebaran WOM yang powerful. Jokowi melakukan 10% pekerjaan, sisanya 90% dilakukan oleh massa pemilihnya.
Bagaimana dengan Foke…
Foke yang lebih terkesan elitis dan birokratis sehingga seakan akan jauh dari masyarakat. Strategy lebih fokus kepada kelemahan lawan lupa kepada kelemahan diri sendiri. Ahli strategy perang Cina kuno Sun Tzu mengatakan ““Walau tahu kelemahan lawan, tapi bila tidak tahu kelemahan dirimu, pasti engkau akan mengalami kekalahan” . Dan seharusnya fokus kepada upaya mengimbangin atau menghadang kekuatan lawan, seperti nasehat Sun Tzu yang lain “Jangan menyerang pada kelemahan musuh, serang pada kekuatan terbesarnya. Agar kemenangan dapat dibanggakan”